Rabu, 19 Desember 2012

CERITA DONGENG “PAK PANDIR” DAN “SANG KADOLOK” DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA: KAITANNYA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER


Latifah Ratnawati
FKIP Universitas Sriwijaya

Abstrak:
Sebagian besar anak Indonesia tidak mengenal lagi Cerita dongeng “Pak Pandir”. Demikian juga halnya dengan naka-anak Sumatrera Selatan tidak mengenal salah satu cerita dongeng “Sang Kadolok”. Mereka lebih mengenal nama Mr. Beens yang sering mereka lihat lewat layar kaca. Hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan mengingat bagaimanapun anak-anak Indonesia juga adalah pewaris kebudayaan daerahnya juga, termasuk sastranya. Dunia pendidikan diharapkan berperan aktif dalam pewarisan budaya para leluhur ini. Melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia hal ini dapat diwujudkan, bukan saja pada tahap pengenalan dan pewarisan cerita-cerita lama tetapi juga sampai pada penjelajahan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang terdapat di dalamnya. Bahkan cerita itu dapat menginspirasi para siswa untuk menciptakan karya sastra modern dengan berhipogram pada cerita lama itu. Hal ini amat memungkinkan mengingat di dalam kurikulum kita saat ini pembelajaran Bahasa Indonesia juga melingkupi menanggapi karya sastra lama dan berekspresi sastra. Dengan bimbingan seorang guru yang akrab dengan cerita lama dan memiliki pengalaman bersastra yang baik pewarisan budaya lama itu dapat terjadi dan penumbuhan kreativitas menulis itu dapat dilakukan.  

Kata kunci: Cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok”, pendidikan karakter.

1.   Pendahuluan
Di dalam khazanah sastra Melayu lama ada sejenis cerita yang oleh Safioedin (1955:40—41) dikelompokkannya sebagai kesusastraan asli. Termasuk ke dalam cerita genre ini adalah cerita “Pak Pandir”. Cerita genre ini dijumpai juga pada sastra nusantara, misalnya saja di masyarakat Sunda dikenal cerita “Si Kabayan” dan di Sumatera Selatan, khususnya di Musi Banyu Asin dikenal cerita “Sang Kadolok”. Lebih lanjut Safioedin menyebut cerita ini sebagai cerita yang berisi petua. Di lain pihak, Danandjaja mengutip Bascom (1994: 50) mengelompokkan genre cerita seperti ini sebagai dongeng. Ia mendefinisikan dongeng sebagai “Prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.

Makalah ini berbicara tentang kedua cerita itu, yaitu cerita “Pak Pandir” dan cerita “Sang Kadolok” yang dikaitkan dengan pembelajaran apresiasi sastra yang diintegrasikan dengan nilai budaya dan pendidikan karakter. Untuk mengintegrasikan nilai budaya dan pendidikan karakter ini digunakan pendekatan resepsi sastra, baik pada horison sempit maupun horison luas.
2.   Cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok”
Gambaran kehidupan yang diungkap pada cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok” adalah kehidupan yang penuh kesengsaraan, kebodohan (baik bodoh dalam ilmu pengetahuan maupun bodoh dalam agama), penuh keliru, dan suram.
Di dalam kehidupan bertutur sastra masyarakat Palembang, cerita “Pak Pandir” merupakan salah satu cerita yang amat populer karena selalu diulang-ulang penceritaannya. Tokoh utama cerita ini adalah Pak Pandir, yang biasa menyebut dirinya dengan Pak Anding (karena berbicaranya cedal). Sebagaimana budaya Melayu, istrinya dikenal dengan sebutan Mak Anding. Cerita ini memiliki beberapa variasi, di antara variasi itu adalah cerita “Pak Pandir Diterbangkan Burung”, dan Pak “Pandir Memandikan Anaknya”.
Pada cerita “Pak Pandir Diterbangkan Burung”[1] dikisahkan episode kehidupan Pak Pandir yang disuruh istrinya Mak Anding menangkap ikan untuk lauk makan mereka. Dengan penuh semangat, pergilah Pak Pandir ke sungai. Sebetulnya hari itu adalah hari keberuntungan bagi Pak Pandir karena belum lama ia mengail, kailnya telah dimakan ikan. Akan tetapi karena kebodohannya, ikan perolehannya itu ia lepaskan di sungai sambil berkata, “Hai ikan, pulanglah ke rumah Mak Anding karena Mak Anding sudah menunggu untuk menggulaimu”. Setiap kali kailnya mengenai, ia selalu melakukan hal yang serupa. Setelah merasa cukup ikan yang didapatnya dan ia mulai merasakan lapar, pulanglah ia ke rumahnya dengan gembira. Harapannya ikan-ikan yang disuruhnya pulang ke rumah Mak Anding telah sampai dan Mak Anding pun telah menggulai ikan-ikan itu. Ia memasuki rumahnya sambil berteriak, “Mak Anding, apakah ika-ikan yang kusuruh pulang tadi sudah digulai? Aku sudah lapar sekali dan ingin menyantap gulai ikan yang Mak Anding masak”. Istrinya terperangah mendengar teriakan suaminya, lalu ia menanyakan hasil tangkapan ikan yang dimaksud Pak Pandir. Betapa kesal hatinya mendengar cerita suaminya sehingga ia mencerca Pak Pandir yang memang bodoh itu.
Keesokan harinya Pak Pandir disuruh istrinya menangkap burung untuk lauk makan mereka. Mak Anding berpesan, bila ia berhasil menangkap burung, burung-burung itu jangan disuruh pulang sendiri ke rumah, melainkan ikankan pada tubuhnya. Lagi-lagi hari itu Pak Pandir beruntung karena banyak sekali burung yang berhasil ia tangkap. Sesuai dengan pesan istrinya, dengan seutas tali burung-burung itu satu per satu ia ikatkan pada pinggangnya. Lama kelamaan, burung tangkapan Pak Pandir semakin banyak sehingga burung-burung itu menerbangkan Pak Pandir. Akan tetapi, satu per satu tali itu terlepas karena menahan beban yang berat, dan jatuhlah Pak Pandir. Beruntung, ia jatuh di atas istana yang kebetulan putri sang rajanya ingin menikah dengan seorang pangeran dari kayangan. Keesokan harinya menikahlah Pak Pandir dengan putri raja dengan segala kebesaran. Namun, Pak Pandir adalah seorang suami yang setia kepada istri dan anaknya, sehingga tanpa sadar ia menggumam, “Bagaimana ya kabar Mak Anding dan anakku?”. Gumaman itu ternyata didengar oleh sang raja yang menyulut murkanya kepada Pak Pandir yang telah memohonginya. Ia pun mengusir Pak Pandir dari istananya setelah menghukumnya dengan  mengelupaskan kulit kepala Pak Pandir. Pulanglah Pak Pandir ke rumahnya dengan menahan rasa sakit dan darah yang merembes dari kepalanya. Sesampai di rumah, ia disambut dengan suka cita oleh anak dan istrinya. Bahkan, anaknya bersorak, “Hore, hore, bapak pulang memakai kopiah merah!” “Lihatlah Mak Anding, bapak pulang, bapak pulang memakai kopiah merah”, serunya kepada ibunya. Pak Pandir menggerutu dalam hati sambil menahan perih di kepalanya. Sambil menahan rasa sakit, Pak Pandir menceritakan pengalamannya kepada istrinya. Lagi-lagi Mak Anding menyesali dan memaki suaminya dengan kebodohannya. Bagaimanapun bagi Pak Pandir makian istrinya dan sakit perih yang dideritanya tidaklah berarti karena pertemuan kembali dengan anak dan istrinya merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri.
       Pada cerita “Sang Kadolok”[2] diceritakan ada seorang pemuda bernama Kadolok yang hidup bersama neneknya yang miskin di pinggiran hutan. Neneknya menyarankan agar ia menikah karena usianya sudah pantas untuk menikah dan neneknya sudah tua. Akan tetapi, Kadolok tidak mau karena menurutnya tidak ada gadis yang mau menikah dengannya karena ia miskin dan tidak tampan. Neneknya tetap berharap Kadolok mau mencari gadis untuk istrinya. Pesan neneknya, jika gadis itu diam, itu tandanya gadis itu mau denganmu. Akhirnya berjalanlah Kadolok mencari gadis yang diceritakan neneknya. Di hutan ia melihat wanita yang diikatkan di pohon. Ia menegur wanita itu berulang-ulang, tetapi wanita itu diam saja sehingga ia berkesimpulan wanita itu mau dengannya. Dibawanyalah wanita itu pulang dan diletakkannyalah wanita itu di atas loteng gubuk neneknya. Ketika Kadolok makan bersama neneknya, ada bau tak sedap tercium oleh mereka dan ada seekor ulat jatuh dari atas loteng. Kadolok menanyakan kepada neneknya tentang bau itu. Neneknya mengatakan bahwa bau itu menandakan wanita yang ada di atas loteng itu sudah meninggal dan harus segera dikuburkan. Sewaktu mereka menguburkan wanita itu, neneknya terkentut dan menimbulkan bau busuk. Ia pun berkesimpulan bahwa neneknya telah meninggal. Walaupun neneknya menjelaskan bahwa ia belum meninggal, Kadolok tetap menggali kuburan dan menguburkan neneknya setengah badan. Tidak lama kemudian, Kadolok pun terkentut dan menimbulkan bau busuk sehingga ia menganggap bahwa dirinya telah meninggal pula. Akan tetapi ia tidak mengubur dirinya. Ia membuat rakit dan berjalan menyusuri sungai. Ketika ia menjumpai durian, ia berkata, “Alangkah enaknya kalau aku masih hidup, aku bisa makan durian itu”. Orang yang ada di dekatnya memandang Kadolok telah gila karena masih hidup mengaku sudah meninggal. Setiap ia menjumpai apa saja yang dapat dimakan, begitulah selalu yang diucapkan Kadolok sehingga banyak orang menyangka Kadolok telah gila. Keadaan kadolok ini dimanfaatkan oleh Kepa, seorang pencuri. Ia mengajak  Kadolok mencuri di rumah raja. Sebelumnya kadolok dipesan oleh pencuri, jika barang yang dijumpainya ringan tidak usah diambil tetapi jika berat baru diambil. Pesan itu diingat Kadolok sehingga ketika setiap ia menjumpai barang di rumah raja, ia mengangkatnya sambil berkata “ringan, ringan, ringan”, jika barang itu ringan. Ia juga berkata “berat, berat, berat” jika barang yang diangkatnya itu berat. Suara Kadolok akhirnya terdengar oleh raja sehingga ia ditangkap dan disekap dalam kerangkeng bambu sementara Kepa berlari. Kadolok memikirkan cara keluar dari kerangkeng itu karena ia akan segera dihukum mati dengan cara dibakar oleh raja yang zalim itu. Ketika Kepa lewat, Kadolok menangis sambil berteriak berulang-ulang, “ Aku tidak mau dinikahkan dengan anak raja.” Kepa tertarik dengan teriakan Kadolok lalu mendekatinya. Kadolok mengatakan bahwa ia akan dinikahkan dengan putri raja tetapi ia tidak mau sehingga ia dikerangkeng. Mendengar itu Kepa bersedia dinikahkan dengan putri raja sehingga ia menggantikan Kadolok masuk ke dalam kerangkeng. Ia juga berteriak berulang-ulang, “Aku mau dinikahkan dengan putri raja.” Teriakan itu mengejutkan raja yang akan melakukan hukuman mati kepada Kadolok. Raja lalu membakar orang yang dikiranya adalah Kadolok. Melihat itu, Kadolok menjauh dari tempat itu. Ia menuju sebuah surau, mengaji, berzikir, dan ia mengenakan pakaian haji. Zikir kadolok terdengar oleh raja. Raja pun menyuruh pengawal pergi ke surau untuk mengetahui orang yang berzikir itu. Pengawal melaporkan bahwa orang yang berzikir itu adalah Kadolok yang baru pulang dari surga dan ia datang menyampaikan undangan saudara raja yang akan menikahkan putrinya di surga. Raja tertarik dan ingin juga pergi ke surga bersama anak istrinya. Ia bertanya kepada Kadolok bagaimana caranya menuju surga. Kadolok menyuruh raja dan keluarganya terjun ke dalam sumur tua yang merupakan jalan pintas menuju surga. Satu per satu raja bersama istri dan keenam putrinya terjun ke sumur tua itu. Sewaktu putri bungsu raja akan terjun, ia dicegah Kadolok lalu diajaknya putri ke istana raja. Ia mengumpulkan rakyat kerajaan itu dan mengumumkan bahwa raja telah meninggal dan ia menobatkan dirinya sebagai raja. Ia pun menikahi putri raja. Sejak itu rakyat kerajaan itu beraja kepada Sang Kadolok.
       Baik kehidupan yang ditampilkan pada cerita “Pak Pandir” maupun pada cerita “Sang Kadolok” adalah kehidupan rakyat biasa yang penuh dengan kemiskinan, kebodohan, keluguan, kekeliruan, kesalahan, dan ada juga kecurangan. Kehidupan ini dikontraskan dengan kehidupan istana yang diperintah oleh raja yang zalim tetapi ia dapat diperdaya oleh tokoh yang bodoh. Kedua-duanya miris. Apakah cerita ini mencerminkan kehidupan masyarakat lama? Ditengarai cerita seperti ini sengaja dihidupkan oleh penjajah dalam upayanya untuk menciptakan citra buruk raja atau pemimpin yang ada di negeri ini. Dengan demikian mereka semakin dapat mengokohkan penjajahan di nusantara ini. Oleh sebab itu kedua cerita ini perlu dimaknai ulang oleh generasi masa kini sehingga akan memberikan konstruksi baru bagi pemahaman terhadap cerita ini.           
3.   Kaitan Cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok” dengan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Baik di dalam Kurikulum yang berlaku sekarang (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) maupun di dalam kurikulum sebelumnya, tampak bahwa cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok” ini merupakan bahan ajar alternatif dan relevan untuk mencapai tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia. Pada KTSP saja misalnya, peranan sastra rakyat sebagai bahan ajar dapat dilihat dari bahwa cerita rakyat tidak saja dijumpai sebagai bahan ajar pada jenjang Sekolah Dasar/Madrasar Ibtidaiyah tetapi juga pada jenjang Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.
Di dalam Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 dinyatakan pula bahwa tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia yang berkaitan dengan cerita rakyat adalah agar peserta didik memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Untuk mencapai tujuan itu, dirumuskan sejumlah kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik. Pada jenjang SD/MI, misalnya, dijumpai kompetensi dasar yang bekaitan dengan sastra lisan itu antara lain yaitu: menyebutkan tokoh-tokoh dalam cerita, menyebutkan isi dongeng, menceritakan kembali isi dongeng yang didengarnya, menceritakan isi dongeng yang dibaca, dan mengidentifikasi unsur cerita rakyat yang didengarnya.
Pada jenjang SMP/MTs, kompetensi dasar yang berkaitan dengan sastra (rakyat) itu antara lain adalah:  menulis kembali dengan bahasa sendiri dongeng yang pernah dibaca atau didengar, menemukan hal-hal yang menarik dari dongeng yang diperdengarkan, dan menunjukkan relevansi isi dongeng dengan situasi sekarang, menulis kembali dengan bahasa sendiri dongeng yang pernah dibaca atau didengar. Pada jenjang SMA/MA dijumpai beberapa kompetensi dasar yang berkaitan dengan sastra (rakyat), seperti: menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman,  dan menjelaskan hal-hal yang menarik tentang latar cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman.
Di dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 itu dinyatakan pula bahwa sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kedaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Beberapa data yang dikemukakan di atas, memperlihatkan bahwa sastra lisan atau cerita dongeng yang ada di Sumatera Selatan ini seyogyanya merupakan hal yang sangat diperlukan dalam pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran, sebagaimana mata pelajaran lainnya, diintegrasikan dengan pendidikan karakter yang dicanangkan ketika peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional 2011 oleh Presiden RI. Mengenai pengertian pendidikan karakter, Sudrajat (http://ahmadsudrajat. wordpress.com/) mengemukakan:
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. 

  Di dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 dikemukakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional ini tampaknya berkaitan erat dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan, santun, dan berinteraksi dengan masyarakat.
Bila dicermati bunyi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 di atas, tampaknya pendidikan karakter bagi peserta didik memang diperlukan.  Sesungguhnya pendidikan karakter selama ini secara eksplisit terdapat pada beberapa mata pelajaran seperti Pendidikan Agama, dan Pendidikan Budi Pekerti. Akan tetapi, secara tersirat, pendidikan karakter ini antara lain terdapat dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bila dikaitkan dengan pembelajaran apresiasi sastra, termasuk cerita rakyat, dapat dilakukan melalui penggalian nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra seperti nilai moral, nilai budaya, dan nilai relegius, yang merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan pendidikan karakter ini.
  Pelaksanaann pendidikan karakter diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan, seperti dikemukakan Sudrajat (http:// ahmadsudrajat.wordpress.com/) berikut.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan karakter ini tidak saja menyangkut aspek kognitif, tetapi yang lebih penting lagi adalah aspek afektif dan psikomotor. Seyogyanya juga tidak hanya menyangkut kegiatan kurikuler tetapi menyangakut kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. Yang terlibat pun bukan hanya guru teapi juga manajemen sekolah dan kebijakan yang dilakukan di lingkungan sekolah serta konteks kehidupan yang ada di sekitarnya. 
4.   Resepsi Sastra
            Secara singkat resepsi sastra atau biasa juga disebut estetika resepsi  dapat diartikan sebagai tanggapan pembaca  atau respons pembaca dan penerimaan pembaca, dan penikmatan pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya. Teori  ini dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di Jerman.
            Pengenalan terhadap cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok” ini perlu dilakukan melalui dunia pendidikan mengingat bahwa siswa juga adalah penikmat karya sastra yang diharapkan, mereka dapat memproduksi makna. Konteks budaya, termasuk sejarah memberikan tempat terbuka bagi suatu pemaknaan. Oleh sebab itu, pembacaan yang dilakukan oleh para siswa masa kini terhadap karya sastra lama, akan memberikan nuansa makna yang berbeda. Hal ini dimungkinkan dalam estetika resepsi sehingga pemaknaan itu akan berbeda dari pembaca yang satu dan pembaca, dari satu generasi ke generasi yang lain. Hal ini memberikan rekonstruksi yang berbeda pula yang dimungkinkan oleh prinsip horizon harapan dan tempat terbuka. (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1998:173).
            Penciptaan makna ini sering disebut sebagai horizon harapan. Lebih lanjut Segers (dikutip Pradopo, 1995:219) mengemukakan bahwa horizon harapan ditentukan oleh tiga hal, yaitu norma-norma yang terpancar dari teks yang dibaca oleh pembaca, pengetahuan dan pengalaman pembaca atas semua teks yang dibacanya sebelumnya, dan pertentangan antara fiksi dan kenyataan. Salah satu pernyataan Jauss tentang resepsi sastra ini adalah bahwa rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan dan disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi sesuai dengan semangat jaman yang berbeda (Jauss, 1982:20—45).
            Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teori resepsi sastra memungkinkan pemaknaan terhadap karya sastra yang dilakukan siswa. Pemaknaan ini bukan saja pada tataran horizon sempit, yaitu fakta yang terungkap dalam karya sastra itu, tetapi juga pada tataran horizon luas, yaitu pemaknaan yang lahir dari pertemuan antara pembaca dengan faktor di luar teks sastra. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan resepsi sastra ini tidak mungkin dilakukan tanpa kontak dengan teks sastra. Dari kontak dengan teks sastra itu, siswa dapat mengungkap tokoh dan karakternya, latar, amanat, dan temanya. Selain itu, siswa dapat juga membandingkan bagaimana kehidupan dan fakta cerita dalam teks itu dengan kehidupan faktual pada zaman kini, termasuk pula nilai budaya dan karakter yang terdapat dalam teks sastra yang dibaca siswa. Tanggapan siswa terhadap teks sastra yang dipelajari digali dari pertanyaan yang diajukan oleh guru, baik tentang fakta yang ada dalam cerita maupun konteks kehidupan cerita itu dengan kehidupan faktual.
Teori resepsi sastra ini dapat pula diterapkan untuk berekspresi sastra, baik pada tataran penulisan kreatif sastra maupun pertunjukan sastra. Penulisan kreatif dapat dilakukan dengan menulis sastra yang berhipogram dengan teks sastra yang dibacanya. Penciptaan kembali itu dapat dalam genre sastra yang sama dapat juga dalam genre yang berbeda. Misalnya dari teks dongeng dapat diciptakan kembali karya kreatif dalam bentuk puisi atau drama. Penciptaan kembali itu dapat dilakukan dengan meneruskan, merekonstruksi, bahkan mendekonstruksi teks hipogramnya. Baik teks puisi maupun teks drama yang yang merupakan teks transformasi dari teks yang dibaca siswa itu dapat disajikan dalam bentuk performansi sastra.
Prasaran yang dikemukakan dalam makalah ini tidak luput dari masalah. Pertama, kondisi guru. Guru menempati posisi strategis dalam pembelajaran. Sayangnya, sebagian besar guru, baik guru kelas di SD maupun guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menengah kurang, bahkan tidak akrab dengan sastra Melayu dan sastra daerah tempat mereka bertugas. Hal ini diakui secara jujur oleh para guru ketika berdiskusi tentang kedekatan mereka dengan cerita rakyat daerah tempat mereka mengajar. Kondisi ini disebabkan oleh antara lain bahwa guru yang mengajar di sebuah daerah belum tentu berasal dari daerah itu sendiri. Kedua, sebagian sastra daerah sudah diteliti. Akan tetapi, hasil penelitian terhadap sastra daerah, termasuk sastra daerah di Sumatera Selatan ini hanya dipertanggungjawabkan kepada Pusat Bahasa. Kalaulah hasil penelitian itu diterbitkan oleh Pusat Bahasa, jumlahnya pun tidak banyak dan persebarannya tidak sampai merata ke sekolah-sekolah yang diharapkan merupakan lembaga pewaris dan penerus budada bangsa. Selain itu, hasil penelitian itu baru merupakan potensi sehingga masih harus disesuaikan di sana sini, baik segi bahasanya maupun segi penuturannya. Ketiga, buku ajar. Buku ajar yang digunakan oleh guru dan siswa di sekolah-sekolah kebanyakan ditulis dan diterbitkan di Jawa. Sebagai akibatnya, pengenalan terhadap cerita rakyat tidak mengakomodasi cerita rakyat dari seluruh daerah. Sebagai contohnya, beberapa jilid buku ajar yang diterbitkan oleh penerbit yang bukunya paling banyak digunakan di sekolah-sekolah, yaitu Penerbit Yudistira, bahan ajar apresiasi cerita rakyatnya tidak satu pun menampilkan salah satu cerita rakyat Sumatera Selatan. Masalah buku ajar ini merupakan masalah yang penting mengingat buku ajar merupakan satu-satunya sumber yang amat membantu guru dalam pembelajaran.  
  Ketiga masalah di atas sebetulnya dapat diatasi. Masalah pertama dapat diatasi dengan cara mendekatkan guru dengan sastra daerah yang ada di Sumatera Selatan ini. Cara ini dapat dilakukan bersamaan dengan pengembangan potensi hasil penelitian sastra daerah yang ada ke dalam bentuk cerita yang siap dikonsumsi oleh peserta didik. Artinya, penggunaan bahasa dan gaya penuturannya disesuaikan dengan usia peserta didik, sera mencerminkan kehidupan perserta didik (Lihat Sarumpaet, 1976:29—32 dan Ampera , 2010:156—161 ). Hasilnya, dapat disebarluaskan ke sekolah-sekolah sehingga para guru memiliki kedekatan dengan cerita rakyat tersebut. Kedekatan ini merupakan langkah awal bagi upaya kedekatan lebih lanjut terhadap cerita rakyat yang ada di lingkungan mereka. Guru bersama siswa secara kreatif dapat mengupayakan pendokumentasian sastra daerah yang dikaitkan dengan upaya pengayaan pembelajaran yang dilakukan. Masalah buku ajar dapat diatasi dengan upaya penerbitan buku ajar oleh guru di daerah ini. Dengan demikian, bahan ajar yang sesuai dengan konteks dan lingkungan siswa dapat diakomodasi. Kalaulah masalah ini belum dapat dilakukan, kehadiran buku cerita rakyat daerah yang telah disesuaikan dengan syarat cerita anak dirasa amat perlu dilakukan.     

5.   Penutup          
            Pengintegrasian nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa amat mungkin dilaksanakan dalam pembelajaran apresiasi sastra, mengingat karya sastra itu sendiri sarat dengan nilai budaya yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Kekayaan khazanah sastra Melayu dan sastra nusantara merupakan potensi yang tak habis-habisnya untuk digali lalu dijadikan sebagai bahan ajar pembelajaran apresiasi sastra itu. Pendekatan resepsi sastra dipandang dapat mengeksploatasi nilai budaya dan karakter yang terdapat di dalam karya sastra. Selain itu, melalui pendekatan ini siswa dapat pula diajak berekspresi sastra, baik dalam bentuk penulisan kreatif maupun dalam bentuk performansi sastra. Selamat berkreativitas.


DAFTAR PUSTAKA

Aliana, Zainul Arifin, dkk. 1992. Nilai Budaya Sastra Nusantara di Sumatera
            Selatan. Palembang: Bagian Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra
            Indonesia dan Daerah Sumatera Selatan, Departemen Pendidikan dan
            Kebudayaan.
Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra: Teknik Mengajar Sastra Anak
            Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Pajajaran.
Danandjaja, James. 1995. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta: Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 23 Tahun 2006. Jakarta: Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 24 Tahun 2006. Jakarta: Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar.
Fokkema, D.W. dan E. Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh.
Jakarta: Gramedia.
Jauss, H. R. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. USA: University of
            Minnesota Press, Minneapolis.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1985. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan
 Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarumpaet, Riris. 1976. Bacaan Anak-anak. Jakarta; Pustaka Jaya.
Safioedin, Asis. 1955. Himpunan Seni Sastra Indonesia. Bandung: Peladjar.
Sudrajat, Ahmad. 2010. “Tentang Pendidikan Karakter”.
            http://ahmadsudrajat.wordpress.com/ diakses 27 Agustus 2011.

   



[1] Penuturan cerita ini digali dari ingatan penulis ketika masih kanak-kanak sering mendengarkan cerita ini sebelum tidur dari nenek penulis.
[2] Penuturan cerita ini disarikan dari hasil penelitian Aliana dkk. tahun 1992.

4 komentar:

  1. How to make money using a bonus code to get
    What are deposit bonuses and welcome bonuses? — How to make money using a bonus code to get หาเงินออนไลน์ $1,000 바카라 in bonuses and free spins? How do I deccasino win cash in my sports betting

    BalasHapus
  2. The Best Bet Online: NJ, CO, MI, NV | JT Hub
    성남 출장마사지 wba 제천 출장마사지 › casinos 삼척 출장안마파주 출장마사지 sport › wba › casinos › sport The best bet online is now available at the best NJ sportsbook. Start 천안 출장마사지 earning money with free bets today!

    BalasHapus
  3. The King Casino Resort - Hertzaman
    Find the perfect place www.jtmhub.com to jancasino.com stay, play, and https://jancasino.com/review/merit-casino/ unwind at Harrah's Resort herzamanindir.com/ Southern California. Get your points now! 바카라 사이트

    BalasHapus