Latifah Ratnawati
FKIP Universitas Sriwijaya
Abstrak:
Sebagian
besar anak Indonesia tidak mengenal lagi Cerita dongeng “Pak Pandir”. Demikian
juga halnya dengan naka-anak Sumatrera Selatan tidak mengenal salah satu cerita
dongeng “Sang Kadolok”. Mereka lebih mengenal nama Mr. Beens yang sering mereka
lihat lewat layar kaca. Hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan mengingat bagaimanapun
anak-anak Indonesia juga adalah pewaris kebudayaan daerahnya juga, termasuk
sastranya. Dunia pendidikan diharapkan berperan aktif dalam pewarisan budaya
para leluhur ini. Melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia hal ini
dapat diwujudkan, bukan saja pada tahap pengenalan dan pewarisan cerita-cerita
lama tetapi juga sampai pada penjelajahan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa yang terdapat di dalamnya. Bahkan cerita itu dapat menginspirasi para
siswa untuk menciptakan karya sastra modern dengan berhipogram pada cerita lama
itu. Hal ini amat memungkinkan mengingat di dalam kurikulum kita saat ini
pembelajaran Bahasa Indonesia juga melingkupi menanggapi karya sastra lama dan
berekspresi sastra. Dengan bimbingan seorang guru yang akrab dengan cerita lama
dan memiliki pengalaman bersastra yang baik pewarisan budaya lama itu dapat
terjadi dan penumbuhan kreativitas menulis itu dapat dilakukan.
Kata
kunci: Cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok”, pendidikan karakter.
1.
Pendahuluan
Di dalam khazanah
sastra Melayu lama ada sejenis cerita yang oleh Safioedin (1955:40—41) dikelompokkannya
sebagai kesusastraan asli. Termasuk ke dalam cerita genre ini adalah cerita
“Pak Pandir”. Cerita genre ini dijumpai juga pada sastra nusantara, misalnya
saja di masyarakat Sunda dikenal cerita “Si Kabayan” dan di Sumatera Selatan,
khususnya di Musi Banyu Asin dikenal cerita “Sang Kadolok”. Lebih lanjut
Safioedin menyebut cerita ini sebagai cerita yang berisi petua. Di lain pihak,
Danandjaja mengutip Bascom (1994: 50) mengelompokkan genre cerita seperti ini
sebagai dongeng. Ia mendefinisikan dongeng sebagai “Prosa rakyat yang tidak
dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat
oleh waktu maupun tempat.
Makalah ini berbicara
tentang kedua cerita itu, yaitu cerita “Pak Pandir” dan cerita “Sang Kadolok”
yang dikaitkan dengan pembelajaran apresiasi sastra yang diintegrasikan dengan nilai
budaya dan pendidikan karakter. Untuk mengintegrasikan nilai budaya dan
pendidikan karakter ini digunakan pendekatan resepsi sastra, baik pada horison
sempit maupun horison luas.
2.
Cerita
“Pak Pandir” dan “Sang Kadolok”
Gambaran kehidupan yang
diungkap pada cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok” adalah kehidupan yang
penuh kesengsaraan, kebodohan (baik bodoh dalam ilmu pengetahuan maupun bodoh
dalam agama), penuh keliru, dan suram.
Di dalam kehidupan
bertutur sastra masyarakat Palembang, cerita “Pak Pandir” merupakan salah satu
cerita yang amat populer karena selalu diulang-ulang penceritaannya. Tokoh
utama cerita ini adalah Pak Pandir, yang biasa menyebut dirinya dengan Pak
Anding (karena berbicaranya cedal). Sebagaimana budaya Melayu, istrinya dikenal
dengan sebutan Mak Anding. Cerita ini memiliki beberapa variasi, di antara
variasi itu adalah cerita “Pak Pandir Diterbangkan Burung”, dan Pak “Pandir
Memandikan Anaknya”.
Pada cerita “Pak Pandir
Diterbangkan Burung”[1]
dikisahkan episode kehidupan Pak Pandir yang disuruh istrinya Mak Anding
menangkap ikan untuk lauk makan mereka. Dengan penuh semangat, pergilah Pak
Pandir ke sungai. Sebetulnya hari itu adalah hari keberuntungan bagi Pak Pandir
karena belum lama ia mengail, kailnya telah dimakan ikan. Akan tetapi karena
kebodohannya, ikan perolehannya itu ia lepaskan di sungai sambil berkata, “Hai
ikan, pulanglah ke rumah Mak Anding karena Mak Anding sudah menunggu untuk
menggulaimu”. Setiap kali kailnya mengenai, ia selalu melakukan hal yang
serupa. Setelah merasa cukup ikan yang didapatnya dan ia mulai merasakan lapar,
pulanglah ia ke rumahnya dengan gembira. Harapannya ikan-ikan yang disuruhnya
pulang ke rumah Mak Anding telah sampai dan Mak Anding pun telah menggulai
ikan-ikan itu. Ia memasuki rumahnya sambil berteriak, “Mak Anding, apakah
ika-ikan yang kusuruh pulang tadi sudah digulai? Aku sudah lapar sekali dan
ingin menyantap gulai ikan yang Mak Anding masak”. Istrinya terperangah
mendengar teriakan suaminya, lalu ia menanyakan hasil tangkapan ikan yang
dimaksud Pak Pandir. Betapa kesal hatinya mendengar cerita suaminya sehingga ia
mencerca Pak Pandir yang memang bodoh itu.
Keesokan harinya Pak
Pandir disuruh istrinya menangkap burung untuk lauk makan mereka. Mak Anding
berpesan, bila ia berhasil menangkap burung, burung-burung itu jangan disuruh
pulang sendiri ke rumah, melainkan ikankan pada tubuhnya. Lagi-lagi hari itu
Pak Pandir beruntung karena banyak sekali burung yang berhasil ia tangkap.
Sesuai dengan pesan istrinya, dengan seutas tali burung-burung itu satu per
satu ia ikatkan pada pinggangnya. Lama kelamaan, burung tangkapan Pak Pandir
semakin banyak sehingga burung-burung itu menerbangkan Pak Pandir. Akan tetapi,
satu per satu tali itu terlepas karena menahan beban yang berat, dan jatuhlah
Pak Pandir. Beruntung, ia jatuh di atas istana yang kebetulan putri sang rajanya
ingin menikah dengan seorang pangeran dari kayangan. Keesokan harinya
menikahlah Pak Pandir dengan putri raja dengan segala kebesaran. Namun, Pak
Pandir adalah seorang suami yang setia kepada istri dan anaknya, sehingga tanpa
sadar ia menggumam, “Bagaimana ya kabar Mak Anding dan anakku?”. Gumaman itu
ternyata didengar oleh sang raja yang menyulut murkanya kepada Pak Pandir yang
telah memohonginya. Ia pun mengusir Pak Pandir dari istananya setelah
menghukumnya dengan mengelupaskan kulit
kepala Pak Pandir. Pulanglah Pak Pandir ke rumahnya dengan menahan rasa sakit
dan darah yang merembes dari kepalanya. Sesampai di rumah, ia disambut dengan
suka cita oleh anak dan istrinya. Bahkan, anaknya bersorak, “Hore, hore, bapak
pulang memakai kopiah merah!” “Lihatlah Mak Anding, bapak pulang, bapak pulang
memakai kopiah merah”, serunya kepada ibunya. Pak Pandir menggerutu dalam hati
sambil menahan perih di kepalanya. Sambil menahan rasa sakit, Pak Pandir
menceritakan pengalamannya kepada istrinya. Lagi-lagi Mak Anding menyesali dan
memaki suaminya dengan kebodohannya. Bagaimanapun bagi Pak Pandir makian
istrinya dan sakit perih yang dideritanya tidaklah berarti karena pertemuan
kembali dengan anak dan istrinya merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri.
Pada cerita “Sang Kadolok”[2]
diceritakan ada seorang pemuda bernama Kadolok yang hidup bersama neneknya yang
miskin di pinggiran hutan. Neneknya menyarankan agar ia menikah karena usianya
sudah pantas untuk menikah dan neneknya sudah tua. Akan tetapi, Kadolok tidak
mau karena menurutnya tidak ada gadis yang mau menikah dengannya karena ia
miskin dan tidak tampan. Neneknya tetap berharap Kadolok mau mencari gadis
untuk istrinya. Pesan neneknya, jika gadis itu diam, itu tandanya gadis itu mau
denganmu. Akhirnya berjalanlah Kadolok mencari gadis yang diceritakan neneknya.
Di hutan ia melihat wanita yang diikatkan di pohon. Ia menegur wanita itu
berulang-ulang, tetapi wanita itu diam saja sehingga ia berkesimpulan wanita
itu mau dengannya. Dibawanyalah wanita itu pulang dan diletakkannyalah wanita
itu di atas loteng gubuk neneknya. Ketika Kadolok makan bersama neneknya, ada
bau tak sedap tercium oleh mereka dan ada seekor ulat jatuh dari atas loteng.
Kadolok menanyakan kepada neneknya tentang bau itu. Neneknya mengatakan bahwa bau
itu menandakan wanita yang ada di atas loteng itu sudah meninggal dan harus
segera dikuburkan. Sewaktu mereka menguburkan wanita itu, neneknya terkentut dan menimbulkan bau busuk. Ia
pun berkesimpulan bahwa neneknya telah meninggal. Walaupun neneknya menjelaskan
bahwa ia belum meninggal, Kadolok tetap menggali kuburan dan menguburkan
neneknya setengah badan. Tidak lama kemudian, Kadolok pun terkentut dan menimbulkan
bau busuk sehingga ia menganggap bahwa dirinya telah meninggal pula. Akan
tetapi ia tidak mengubur dirinya. Ia membuat rakit dan berjalan menyusuri
sungai. Ketika ia menjumpai durian, ia berkata, “Alangkah enaknya kalau aku
masih hidup, aku bisa makan durian itu”. Orang yang ada di dekatnya memandang
Kadolok telah gila karena masih hidup mengaku sudah meninggal. Setiap ia
menjumpai apa saja yang dapat dimakan, begitulah selalu yang diucapkan Kadolok
sehingga banyak orang menyangka Kadolok telah gila. Keadaan kadolok ini
dimanfaatkan oleh Kepa, seorang pencuri. Ia mengajak Kadolok mencuri di rumah raja. Sebelumnya
kadolok dipesan oleh pencuri, jika barang yang dijumpainya ringan tidak usah
diambil tetapi jika berat baru diambil. Pesan itu diingat Kadolok sehingga
ketika setiap ia menjumpai barang di rumah raja, ia mengangkatnya sambil berkata
“ringan, ringan, ringan”, jika barang itu ringan. Ia juga berkata “berat,
berat, berat” jika barang yang diangkatnya itu berat. Suara Kadolok akhirnya
terdengar oleh raja sehingga ia ditangkap dan disekap dalam kerangkeng bambu
sementara Kepa berlari. Kadolok memikirkan cara keluar dari kerangkeng itu
karena ia akan segera dihukum mati dengan cara dibakar oleh raja yang zalim itu.
Ketika Kepa lewat, Kadolok menangis sambil berteriak berulang-ulang, “ Aku
tidak mau dinikahkan dengan anak raja.” Kepa tertarik dengan teriakan Kadolok
lalu mendekatinya. Kadolok mengatakan bahwa ia akan dinikahkan dengan putri
raja tetapi ia tidak mau sehingga ia dikerangkeng. Mendengar itu Kepa bersedia dinikahkan
dengan putri raja sehingga ia menggantikan Kadolok masuk ke dalam kerangkeng.
Ia juga berteriak berulang-ulang, “Aku mau dinikahkan dengan putri raja.” Teriakan
itu mengejutkan raja yang akan melakukan hukuman mati kepada Kadolok. Raja lalu
membakar orang yang dikiranya adalah Kadolok. Melihat itu, Kadolok menjauh dari
tempat itu. Ia menuju sebuah surau, mengaji, berzikir, dan ia mengenakan
pakaian haji. Zikir kadolok terdengar oleh raja. Raja pun menyuruh pengawal pergi
ke surau untuk mengetahui orang yang berzikir itu. Pengawal melaporkan bahwa
orang yang berzikir itu adalah Kadolok yang baru pulang dari surga dan ia datang
menyampaikan undangan saudara raja yang akan menikahkan putrinya di surga. Raja
tertarik dan ingin juga pergi ke surga bersama anak istrinya. Ia bertanya
kepada Kadolok bagaimana caranya menuju surga. Kadolok menyuruh raja dan
keluarganya terjun ke dalam sumur tua yang merupakan jalan pintas menuju surga.
Satu per satu raja bersama istri dan keenam putrinya terjun ke sumur tua itu.
Sewaktu putri bungsu raja akan terjun, ia dicegah Kadolok lalu diajaknya putri
ke istana raja. Ia mengumpulkan rakyat kerajaan itu dan mengumumkan bahwa raja
telah meninggal dan ia menobatkan dirinya sebagai raja. Ia pun menikahi putri
raja. Sejak itu rakyat kerajaan itu beraja kepada Sang Kadolok.
Baik kehidupan yang ditampilkan pada cerita “Pak Pandir”
maupun pada cerita “Sang Kadolok” adalah kehidupan rakyat biasa yang penuh
dengan kemiskinan, kebodohan, keluguan, kekeliruan, kesalahan, dan ada juga
kecurangan. Kehidupan ini dikontraskan dengan kehidupan istana yang diperintah
oleh raja yang zalim tetapi ia dapat diperdaya oleh tokoh yang bodoh.
Kedua-duanya miris. Apakah cerita ini mencerminkan kehidupan masyarakat lama? Ditengarai
cerita seperti ini sengaja dihidupkan oleh penjajah dalam upayanya untuk
menciptakan citra buruk raja atau pemimpin yang ada di negeri ini. Dengan
demikian mereka semakin dapat mengokohkan penjajahan di nusantara ini. Oleh
sebab itu kedua cerita ini perlu dimaknai ulang oleh generasi masa kini
sehingga akan memberikan konstruksi baru bagi pemahaman terhadap cerita
ini.
3.
Kaitan
Cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok” dengan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Baik di dalam Kurikulum yang berlaku sekarang
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) maupun di dalam kurikulum sebelumnya,
tampak bahwa cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok” ini merupakan bahan ajar
alternatif dan relevan untuk mencapai tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia.
Pada KTSP saja misalnya, peranan sastra rakyat sebagai bahan ajar dapat dilihat
dari bahwa cerita rakyat tidak saja dijumpai sebagai bahan ajar pada jenjang
Sekolah Dasar/Madrasar Ibtidaiyah tetapi juga pada jenjang Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.
Di dalam Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 dinyatakan
pula bahwa tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia yang berkaitan dengan cerita rakyat
adalah agar peserta didik memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Untuk mencapai tujuan itu, dirumuskan
sejumlah kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik. Pada jenjang
SD/MI, misalnya, dijumpai kompetensi dasar yang bekaitan dengan sastra lisan
itu antara lain yaitu: menyebutkan tokoh-tokoh dalam cerita, menyebutkan isi
dongeng, menceritakan kembali isi dongeng yang didengarnya, menceritakan isi
dongeng yang dibaca, dan mengidentifikasi unsur cerita rakyat yang didengarnya.
Pada jenjang SMP/MTs, kompetensi dasar yang
berkaitan dengan sastra (rakyat) itu antara lain adalah: menulis kembali dengan bahasa sendiri dongeng
yang pernah dibaca atau didengar, menemukan hal-hal yang menarik dari dongeng
yang diperdengarkan, dan menunjukkan relevansi isi dongeng dengan situasi
sekarang, menulis kembali dengan bahasa sendiri dongeng yang pernah dibaca atau
didengar. Pada jenjang SMA/MA dijumpai beberapa kompetensi dasar yang berkaitan
dengan sastra (rakyat), seperti: menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh
cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman, dan menjelaskan hal-hal yang menarik tentang
latar cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman.
Di dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 itu
dinyatakan pula bahwa sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang
kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kedaan peserta didik dan sumber belajar
yang tersedia. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional.
Beberapa data yang
dikemukakan di atas, memperlihatkan bahwa sastra lisan atau cerita dongeng yang
ada di Sumatera Selatan ini seyogyanya merupakan hal yang sangat diperlukan
dalam pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran, sebagaimana mata pelajaran
lainnya, diintegrasikan dengan pendidikan karakter yang dicanangkan ketika
peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional 2011 oleh
Presiden RI. Mengenai pengertian pendidikan karakter, Sudrajat (http://ahmadsudrajat.
wordpress.com/) mengemukakan:
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil.
Di dalam
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3
dikemukakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan
nasional ini tampaknya berkaitan erat dengan pembentukan karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan, santun, dan berinteraksi
dengan masyarakat.
Bila dicermati bunyi Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 di atas, tampaknya pendidikan karakter bagi peserta didik memang
diperlukan. Sesungguhnya pendidikan
karakter selama ini secara eksplisit terdapat pada beberapa mata pelajaran
seperti Pendidikan Agama, dan Pendidikan Budi Pekerti. Akan tetapi, secara
tersirat, pendidikan karakter ini antara lain terdapat dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Bila dikaitkan dengan pembelajaran apresiasi sastra, termasuk
cerita rakyat, dapat dilakukan melalui penggalian nilai-nilai yang terdapat
dalam karya sastra seperti nilai moral, nilai budaya, dan nilai relegius, yang
merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan pendidikan karakter ini.
Pelaksanaann
pendidikan karakter diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran di setiap
jenjang pendidikan, seperti dikemukakan Sudrajat (http://
ahmadsudrajat.wordpress.com/) berikut.
Pendidikan karakter dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak
hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan karakter ini tidak saja
menyangkut aspek kognitif, tetapi yang lebih penting lagi adalah aspek afektif
dan psikomotor. Seyogyanya juga tidak hanya menyangkut kegiatan kurikuler
tetapi menyangakut kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. Yang terlibat pun
bukan hanya guru teapi juga manajemen sekolah dan kebijakan yang dilakukan di
lingkungan sekolah serta konteks kehidupan yang ada di sekitarnya.
4.
Resepsi
Sastra
Secara
singkat resepsi sastra atau biasa juga disebut estetika resepsi dapat diartikan sebagai tanggapan pembaca atau respons pembaca dan penerimaan pembaca, dan
penikmatan pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya. Teori ini dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun
1960-an di Jerman.
Pengenalan
terhadap cerita “Pak Pandir” dan “Sang Kadolok” ini perlu dilakukan melalui
dunia pendidikan mengingat bahwa siswa juga adalah penikmat karya sastra yang
diharapkan, mereka dapat memproduksi makna. Konteks budaya, termasuk sejarah
memberikan tempat terbuka bagi suatu pemaknaan. Oleh sebab itu, pembacaan yang
dilakukan oleh para siswa masa kini terhadap karya sastra lama, akan memberikan
nuansa makna yang berbeda. Hal ini dimungkinkan dalam estetika resepsi sehingga
pemaknaan itu akan berbeda dari pembaca yang satu dan pembaca, dari satu
generasi ke generasi yang lain. Hal ini memberikan rekonstruksi yang berbeda
pula yang dimungkinkan oleh prinsip horizon harapan dan tempat terbuka.
(Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1998:173).
Penciptaan
makna ini sering disebut sebagai horizon harapan. Lebih lanjut Segers (dikutip
Pradopo, 1995:219) mengemukakan bahwa horizon harapan ditentukan oleh tiga hal,
yaitu norma-norma yang terpancar dari teks yang dibaca oleh pembaca,
pengetahuan dan pengalaman pembaca atas semua teks yang dibacanya sebelumnya,
dan pertentangan antara fiksi dan kenyataan. Salah satu pernyataan Jauss
tentang resepsi sastra ini adalah bahwa rekonstruksi mengenai horison harapan
terhadap karya sastra sejak diciptakan dan disambut pada masa lampau hingga
masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi sesuai dengan semangat
jaman yang berbeda (Jauss, 1982:20—45).
Dari
berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teori resepsi sastra memungkinkan
pemaknaan terhadap karya sastra yang dilakukan siswa. Pemaknaan ini bukan saja
pada tataran horizon sempit, yaitu fakta yang terungkap dalam karya sastra itu,
tetapi juga pada tataran horizon luas, yaitu pemaknaan yang lahir dari
pertemuan antara pembaca dengan faktor di luar teks sastra. Dengan demikian,
pembelajaran dengan menggunakan resepsi sastra ini tidak mungkin dilakukan
tanpa kontak dengan teks sastra. Dari kontak dengan teks sastra itu, siswa dapat
mengungkap tokoh dan karakternya, latar, amanat, dan temanya. Selain itu, siswa
dapat juga membandingkan bagaimana kehidupan dan fakta cerita dalam teks itu
dengan kehidupan faktual pada zaman kini, termasuk pula nilai budaya dan
karakter yang terdapat dalam teks sastra yang dibaca siswa. Tanggapan siswa
terhadap teks sastra yang dipelajari digali dari pertanyaan yang diajukan oleh
guru, baik tentang fakta yang ada dalam cerita maupun konteks kehidupan cerita
itu dengan kehidupan faktual.
Teori resepsi sastra ini dapat pula diterapkan untuk
berekspresi sastra, baik pada tataran penulisan kreatif sastra maupun pertunjukan
sastra. Penulisan kreatif dapat dilakukan dengan menulis sastra yang
berhipogram dengan teks sastra yang dibacanya. Penciptaan kembali itu dapat
dalam genre sastra yang sama dapat juga dalam genre yang berbeda. Misalnya dari
teks dongeng dapat diciptakan kembali karya kreatif dalam bentuk puisi atau
drama. Penciptaan kembali itu dapat dilakukan dengan meneruskan,
merekonstruksi, bahkan mendekonstruksi teks hipogramnya. Baik teks puisi maupun
teks drama yang yang merupakan teks transformasi dari teks yang dibaca siswa
itu dapat disajikan dalam bentuk performansi sastra.
Prasaran yang dikemukakan dalam makalah ini tidak
luput dari masalah. Pertama, kondisi
guru. Guru menempati posisi strategis dalam pembelajaran. Sayangnya, sebagian
besar guru, baik guru kelas di SD maupun guru mata pelajaran Bahasa Indonesia
di sekolah menengah kurang, bahkan tidak akrab dengan sastra Melayu dan sastra
daerah tempat mereka bertugas. Hal ini diakui secara jujur oleh para guru
ketika berdiskusi tentang kedekatan mereka dengan cerita rakyat daerah tempat
mereka mengajar. Kondisi ini disebabkan oleh antara lain bahwa guru yang
mengajar di sebuah daerah belum tentu berasal dari daerah itu sendiri. Kedua, sebagian sastra daerah sudah
diteliti. Akan tetapi, hasil penelitian terhadap sastra daerah, termasuk sastra
daerah di Sumatera Selatan ini hanya dipertanggungjawabkan kepada Pusat Bahasa.
Kalaulah hasil penelitian itu diterbitkan oleh Pusat Bahasa, jumlahnya pun
tidak banyak dan persebarannya tidak sampai merata ke sekolah-sekolah yang
diharapkan merupakan lembaga pewaris dan penerus budada bangsa. Selain itu,
hasil penelitian itu baru merupakan potensi sehingga masih harus disesuaikan di
sana sini, baik segi bahasanya maupun segi penuturannya. Ketiga, buku ajar. Buku ajar yang digunakan oleh guru dan siswa di
sekolah-sekolah kebanyakan ditulis dan diterbitkan di Jawa. Sebagai akibatnya,
pengenalan terhadap cerita rakyat tidak mengakomodasi cerita rakyat dari
seluruh daerah. Sebagai contohnya, beberapa jilid buku ajar yang diterbitkan
oleh penerbit yang bukunya paling banyak digunakan di sekolah-sekolah, yaitu
Penerbit Yudistira, bahan ajar apresiasi cerita rakyatnya tidak satu pun
menampilkan salah satu cerita rakyat Sumatera Selatan. Masalah buku ajar ini
merupakan masalah yang penting mengingat buku ajar merupakan satu-satunya
sumber yang amat membantu guru dalam pembelajaran.
Ketiga
masalah di atas sebetulnya dapat diatasi. Masalah pertama dapat diatasi dengan
cara mendekatkan guru dengan sastra daerah yang ada di Sumatera Selatan ini.
Cara ini dapat dilakukan bersamaan dengan pengembangan potensi hasil penelitian
sastra daerah yang ada ke dalam bentuk cerita yang siap dikonsumsi oleh peserta
didik. Artinya, penggunaan bahasa dan gaya penuturannya disesuaikan dengan usia
peserta didik, sera mencerminkan kehidupan perserta didik (Lihat Sarumpaet,
1976:29—32 dan Ampera , 2010:156—161 ). Hasilnya, dapat disebarluaskan ke
sekolah-sekolah sehingga para guru memiliki kedekatan dengan cerita rakyat
tersebut. Kedekatan ini merupakan langkah awal bagi upaya kedekatan lebih
lanjut terhadap cerita rakyat yang ada di lingkungan mereka. Guru bersama siswa
secara kreatif dapat mengupayakan pendokumentasian sastra daerah yang dikaitkan
dengan upaya pengayaan pembelajaran yang dilakukan. Masalah buku ajar dapat
diatasi dengan upaya penerbitan buku ajar oleh guru di daerah ini. Dengan
demikian, bahan ajar yang sesuai dengan konteks dan lingkungan siswa dapat
diakomodasi. Kalaulah masalah ini belum dapat dilakukan, kehadiran buku cerita
rakyat daerah yang telah disesuaikan dengan syarat cerita anak dirasa amat
perlu dilakukan.
5.
Penutup
Pengintegrasian
nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa amat mungkin dilaksanakan dalam
pembelajaran apresiasi sastra, mengingat karya sastra itu sendiri sarat dengan
nilai budaya yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Kekayaan khazanah sastra
Melayu dan sastra nusantara merupakan potensi yang tak habis-habisnya untuk
digali lalu dijadikan sebagai bahan ajar pembelajaran apresiasi sastra itu.
Pendekatan resepsi sastra dipandang dapat mengeksploatasi nilai budaya dan
karakter yang terdapat di dalam karya sastra. Selain itu, melalui pendekatan
ini siswa dapat pula diajak berekspresi sastra, baik dalam bentuk penulisan
kreatif maupun dalam bentuk performansi sastra. Selamat berkreativitas.
DAFTAR PUSTAKA
Aliana, Zainul Arifin, dkk. 1992.
Nilai Budaya Sastra Nusantara di Sumatera
Selatan. Palembang:
Bagian Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra
Indonesia
dan Daerah Sumatera Selatan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra: Teknik Mengajar Sastra
Anak
Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya
Pajajaran.
Danandjaja,
James. 1995. Foklor Indonesia: Ilmu
Gosip, dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Departemen Pendidikan Nasional.
2006. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional
Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta:
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah,
Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar.
Departemen Pendidikan Nasional.
2006. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional
Nomor 23 Tahun 2006. Jakarta:
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah,
Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar.
Departemen Pendidikan Nasional.
2006. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional
Nomor 24 Tahun 2006. Jakarta:
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah,
Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar.
Fokkema,
D.W. dan E. Kunne-Ibsch. 1998. Teori
Sastra Abad Kedua Puluh.
Jakarta:
Gramedia.
Jauss,
H. R. 1982. Toward an Aesthetic of
Reception. USA: University of
Minnesota Press, Minneapolis.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 1985. Beberapa Teori
Sastra, Metode, Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarumpaet, Riris. 1976. Bacaan Anak-anak. Jakarta; Pustaka Jaya.
Safioedin,
Asis. 1955. Himpunan Seni Sastra
Indonesia. Bandung: Peladjar.
Sudrajat, Ahmad. 2010. “Tentang
Pendidikan Karakter”.
saya suka dongengnya bu.
BalasHapusHow to make money using a bonus code to get
BalasHapusWhat are deposit bonuses and welcome bonuses? — How to make money using a bonus code to get หาเงินออนไลน์ $1,000 바카라 in bonuses and free spins? How do I deccasino win cash in my sports betting
The Best Bet Online: NJ, CO, MI, NV | JT Hub
BalasHapus› 성남 출장마사지 wba 제천 출장마사지 › casinos 삼척 출장안마 › 파주 출장마사지 sport › wba › casinos › sport The best bet online is now available at the best NJ sportsbook. Start 천안 출장마사지 earning money with free bets today!
The King Casino Resort - Hertzaman
BalasHapusFind the perfect place www.jtmhub.com to jancasino.com stay, play, and https://jancasino.com/review/merit-casino/ unwind at Harrah's Resort herzamanindir.com/ Southern California. Get your points now! 바카라 사이트